Politik Fabel Indonesia Bagai Hutan Rimba

Politik Fabel Indonesia Bagai Hutan Rimba
Fabel adalah cerita dunia binatang yang dibuat bagaikan punya kehidupan seperti layaknya manusia. Mereka dibuat seakan akan punya perilaku kehidupan seperti manusia, bisa berbicara, saling berinteraksi, punya kehidupan sosial dan sebagainya. Contoh yang paling mudah dicari saat ini adalah cerita anak yang bertemakan binatang seperti cerita si Kancil dan cerita anak yang bertemakan binatang lainnya. Dalam perkembangannya cerita fabel bisa diaplikasikan dalan sebuah film kartun seperti Donal bebek, Micky Mouse dan sebagainya.

Sebenarnya di Indonesia tercinta ini sudah ada sastra lama yang bisa dikategorikan sebagai fabel. Contohnya saja beberapa kalimat yang ada di syair lawas atau tembang tempo dulu yang berjudul Semut Ireng Ngendog Jrenong geni :

Tikuse Podo ngidung Kucing gering engkang nunggoni.
Kodok newu segoro oleh banteng sewu.

Kalimat itu bisa dikategorikan sebagai fabel sebab menceritakan binatang yang seolah olah berperilaku layaknya manusia atau sindiran untuk manusia dengan mengganti subyek atau obyeknya dengan nama nama binatang.

Dalam seni modern Indonesia juga sering ada yang menggunakan fabel sebagai sindiran atau kritikan sosial. Seperti dalam lagu Iwan Fals yang berjudul Tikus Tikus Kantor bisa dikategorikan sebagai fabel. Simak saja sebagian liriknya di bawah ini :

Kisah usang tikus-tikus kantor, Yang suka berenang disungai yang kotor. Kisah usang tikus-tikus berdasi. Yang suka ingkar janji lalu sembunyi
Di balik meja teman sekerja. Di dalam lemari dari baja

Kucing datang cepat ganti muka. Segera menjelma bagai tak tercela. Masa bodoh hilang harga diri. Asal tidak terbukti ah tentu sikat lagi.  ....

FABEL dalam Politik Indonesia.
Seiring perkembangan jaman, fabel juga bisa masuk ke barbagai kehidupan dan aktifitas manusia, termasuk dalam dunia politik di Indonesia. Para politisi dan petinggi banyak yang menggunakan fabel sebagai penyebut atau istilah bagi peristiwa tertentu atau sebagai sindiran sindiran pada musuh atau lawan politiknya.

Yang mungkin masih dalam ingatan kita yaitu tentang perseteruan antara KPK dan Kepolisian yang sangat terkenal dengan istilah Cicak vs Buaya, juga sebuah buku yang menyentil kasus Bank Century yang berjudul Gurita Cikeas atau para demonstran di bundaran Hotel Indonesia yang membawa seekor kerbau dengan tulisan Si BUYA yang terkenal dengan Kerbau SiBuya. Itu semua adalah binatang yang dijadilan simbol simbul yang mewakili manusia, atau kelompok manusia.

Dam masih manyak lagi contoh contoh fabel yang beredar di lingkungan elite Indonesia ini, seperti yang baru baru ini ada sebutan Si Burung Merak yang menyindir keberadaan sebagian artis yang duduk di kursi parlemen, atau istilah diseruduk sapi sebagai sindiran untuk orang tertentu.

Sebenarnya fabel bila digunakan sebagai suatu istilah suatu perbuatan atau subyek tanpa menunjuk pada perseorangan atau kelompok tertentu, itu bisa terasa lebih enak didengar atau bisa jadi tren istilah, seperti menyebut koruptor dengan Tikus berdasi, atau tikus kantor.

Tetapi kenyatannya di elite politik Indonesia tercinta ini malahan semakin sering terlontar intilah atau simbul fabel untuk menyerang atau menyindir orang tertentu atau kelompok tertentu sebagai lawan politiknya atau yang tidak dia sukai. Sungguh sangat ironis, Negara Indonesia yang dicintai oleh ratusan juta jiwa ini dianggap seolah olah sebagai hutan rimba oleh sebagian elite politiknya sendiri.

Sundul

Artikel Terkait



Comments
1 Comments

1 komentar:

cak oni said...

izin menyimak kang . . tentang politik ini .