Gunung Lawu berketinggian sekitar 3265 M di atas permukaan laut, terletak diperbatasan propinsi Jawa Tengah – Jawa Timur.
Gunung Lawu bersosok angker dan menyimpan misteri dengan tiga puncak utamanya : Harga Dalem, Harga Dumilah dan Harga Dumiling yang dimitoskan sebagai tempat sacral di Tanah Jawa. Harga Dalem diyakini masyarakat setempat sebagai tempat pamoksan Prabu Bhrawijaya Pamungkas, Harga Dumiling diyakini sebagai tempat pamoksan Ki Sabdopalon, dan Harga Dumilah merupakan tempat yang penuh misteri yang sering dipergunakan sebagai ajang menjadi kemampuan olah batin dan meditasi.
Konon kabarnya gunung Lawu merupakan pusat kegiatan spiritual di Tanah Jawa dan ada hubungan dekat dengan tradisi dan budaya keraton, semisal upacara labuhan setiap bulan Sura (muharam) yang dilakukan oleh Keraton Yogyakarta. Dari visi folklore, ada kisah mitologi setempat yang menarik dan menyakinkan siapa sebenarnya penguasa gunung Lawu dan mengapa tempat itu begitu berwibawa dan berkesan angker bagi penduduk setempat atau siapa saja yang bermaksud tetirah dan mesanggarah.
Siapapun yang hendak pergi ke puncaknya bekal pengetahuan utama adalah tabu-tabu atau weweler atau peraturan-peraturan yang tertulis yakni larangan-larangan untuk tidak melakukan sesuatu, baik bersifat perbuatan maupun perkataan, dan bila pantangan itu dilanggar di pelaku diyakini bakal bernasib naas.
Siapa Penguasa Gunung Lawu ?
Cerita dimulai dari masa akhir kerajaan Majapahit (1400 M). Alkisah, pada era pasang surut kerajaan Majapahit, bertahta sebagai raja adalah Sinuwun Bumi Nata Bhrawijaya Ingkang Jumeneng kaping 5 (Pamungkas). Dua istrinya yang terkenal ialah Dara Petak putri dari daratan Tiongkok dan Dara Jingga. Dari Dara Petak lahir putra Jinbun Fatah, dari Dara Jingga lahir putra Pangeran Katong.
Jinbun Fatah setelah dewasa menghayati keyakinan yang berbeda dengan ayahandanya yang beragama Budha. Jinbun Fatah seorang muslim. Dan bersamaan dengan pudarnya Majapahit, Jinbun Fatah mendirikan Kerajaan di Glagah Wangi (Demak). Melihat dan kondisi yang demikian itu , masygullah hati Sang Prabu. Akankah jaman Kerta Majapahit dapat dipertahankan?
Sebagai raja yang bijak, pada suatu malam, dia pun akhirnya bermeditasi memohon petunjuk Sang Maha Kuasa. Dan wisik pun datang, pesannya : sudah saatnya cahaya Majapahit memudar dan wahyu kedaton akan berpindah ke kerajaan yang baru tumbuh serta masuknya agama baru (Islam) memang sudah takdir dan tak bisa terelakkan lagi.
Pada malam itu pulalah Sang Prabu dengan hanya disertai pemomongnya yang setia Sabdopalon diam-diam meninggalkan keraton dan melanglang praja dan pada akhirnya naik ke Puncak Lawu. Sebelum sampai di puncak, dia bertemu dengan dua orang umbul (bayan/ kepala dusun) yakni Dipa Menggala dan Wangsa Menggala. Sebagai abdi dalem yang setia dua orang umbul itu pun tak tega membiarkan tuannya begitu saja. Niat di hati mereka adalah mukti mati bersama Sang Prabu . Syahdan, Sang Prabu bersama tiga orang abdi itupun sampailan di puncak Harga Dalem. Saat itu Sang Prabu bertitah : Wahai para abdiku yang setia sudah saatnya aku harus surut, aku harus muksa dan meninggalkan dunia ramai ini. Kepada kamu Dipa Menggala, karena kesetiaanmu kuangkat kau menjadi penguasa gunung Lawu dan membawahi semua mahluk gaib (peri, jin dan sebangsanya) dengan wilayah ke barat hingga wilayah Merapi/Merbabu, ke Timur hingga gunung Wilis, ke selatan hingga Pantai selatan , dan ke utara sampai dengan pantai utara dengan gelar Sunan Gunung Lawu. Dan kepada Wangsa Menggala, kau kuangkat sebagai patihnya, dengan gelar Kyai Jalak.
Suasana pun hening . Melihat drama semacam itu, tak kuasa menahan gejolak di hatinya, Sabdopalon pun memberanikan diri berkata kpd Sang Prabu : Bagaimana mungkin ini terjadi Sang Prabu ? Bila demikian adanya hamba pun juga pamit berpisah dengan Sang Prabu, hamba akan naik ke Harga Dumiling dan meninggalkan Sang Prabu di sini. Dan dua orang tuan dan abdi itupun berpisah dalam suasana yang mengharukan.
Singkat cerita Sang Prabu Barawijaya pun muksa di Harga Dalem , dan Sabdopalon moksa di Harga Dumiling. Tinggalah Sunan Lawu Sang Penguasa gunung dan Kyai Jalak yang karena kesaktian dan kesempurnaan ilmunya kemudian menjadi mahluk gaib yang hingga kini masih setia melaksanakan tugas sesuai amanat Sang Prabu Brawijaya.
Gunung Lawu bersosok angker dan menyimpan misteri dengan tiga puncak utamanya : Harga Dalem, Harga Dumilah dan Harga Dumiling yang dimitoskan sebagai tempat sacral di Tanah Jawa. Harga Dalem diyakini masyarakat setempat sebagai tempat pamoksan Prabu Bhrawijaya Pamungkas, Harga Dumiling diyakini sebagai tempat pamoksan Ki Sabdopalon, dan Harga Dumilah merupakan tempat yang penuh misteri yang sering dipergunakan sebagai ajang menjadi kemampuan olah batin dan meditasi.
Konon kabarnya gunung Lawu merupakan pusat kegiatan spiritual di Tanah Jawa dan ada hubungan dekat dengan tradisi dan budaya keraton, semisal upacara labuhan setiap bulan Sura (muharam) yang dilakukan oleh Keraton Yogyakarta. Dari visi folklore, ada kisah mitologi setempat yang menarik dan menyakinkan siapa sebenarnya penguasa gunung Lawu dan mengapa tempat itu begitu berwibawa dan berkesan angker bagi penduduk setempat atau siapa saja yang bermaksud tetirah dan mesanggarah.
Siapapun yang hendak pergi ke puncaknya bekal pengetahuan utama adalah tabu-tabu atau weweler atau peraturan-peraturan yang tertulis yakni larangan-larangan untuk tidak melakukan sesuatu, baik bersifat perbuatan maupun perkataan, dan bila pantangan itu dilanggar di pelaku diyakini bakal bernasib naas.
Siapa Penguasa Gunung Lawu ?
Cerita dimulai dari masa akhir kerajaan Majapahit (1400 M). Alkisah, pada era pasang surut kerajaan Majapahit, bertahta sebagai raja adalah Sinuwun Bumi Nata Bhrawijaya Ingkang Jumeneng kaping 5 (Pamungkas). Dua istrinya yang terkenal ialah Dara Petak putri dari daratan Tiongkok dan Dara Jingga. Dari Dara Petak lahir putra Jinbun Fatah, dari Dara Jingga lahir putra Pangeran Katong.
Jinbun Fatah setelah dewasa menghayati keyakinan yang berbeda dengan ayahandanya yang beragama Budha. Jinbun Fatah seorang muslim. Dan bersamaan dengan pudarnya Majapahit, Jinbun Fatah mendirikan Kerajaan di Glagah Wangi (Demak). Melihat dan kondisi yang demikian itu , masygullah hati Sang Prabu. Akankah jaman Kerta Majapahit dapat dipertahankan?
Sebagai raja yang bijak, pada suatu malam, dia pun akhirnya bermeditasi memohon petunjuk Sang Maha Kuasa. Dan wisik pun datang, pesannya : sudah saatnya cahaya Majapahit memudar dan wahyu kedaton akan berpindah ke kerajaan yang baru tumbuh serta masuknya agama baru (Islam) memang sudah takdir dan tak bisa terelakkan lagi.
Pada malam itu pulalah Sang Prabu dengan hanya disertai pemomongnya yang setia Sabdopalon diam-diam meninggalkan keraton dan melanglang praja dan pada akhirnya naik ke Puncak Lawu. Sebelum sampai di puncak, dia bertemu dengan dua orang umbul (bayan/ kepala dusun) yakni Dipa Menggala dan Wangsa Menggala. Sebagai abdi dalem yang setia dua orang umbul itu pun tak tega membiarkan tuannya begitu saja. Niat di hati mereka adalah mukti mati bersama Sang Prabu . Syahdan, Sang Prabu bersama tiga orang abdi itupun sampailan di puncak Harga Dalem. Saat itu Sang Prabu bertitah : Wahai para abdiku yang setia sudah saatnya aku harus surut, aku harus muksa dan meninggalkan dunia ramai ini. Kepada kamu Dipa Menggala, karena kesetiaanmu kuangkat kau menjadi penguasa gunung Lawu dan membawahi semua mahluk gaib (peri, jin dan sebangsanya) dengan wilayah ke barat hingga wilayah Merapi/Merbabu, ke Timur hingga gunung Wilis, ke selatan hingga Pantai selatan , dan ke utara sampai dengan pantai utara dengan gelar Sunan Gunung Lawu. Dan kepada Wangsa Menggala, kau kuangkat sebagai patihnya, dengan gelar Kyai Jalak.
Suasana pun hening . Melihat drama semacam itu, tak kuasa menahan gejolak di hatinya, Sabdopalon pun memberanikan diri berkata kpd Sang Prabu : Bagaimana mungkin ini terjadi Sang Prabu ? Bila demikian adanya hamba pun juga pamit berpisah dengan Sang Prabu, hamba akan naik ke Harga Dumiling dan meninggalkan Sang Prabu di sini. Dan dua orang tuan dan abdi itupun berpisah dalam suasana yang mengharukan.
Singkat cerita Sang Prabu Barawijaya pun muksa di Harga Dalem , dan Sabdopalon moksa di Harga Dumiling. Tinggalah Sunan Lawu Sang Penguasa gunung dan Kyai Jalak yang karena kesaktian dan kesempurnaan ilmunya kemudian menjadi mahluk gaib yang hingga kini masih setia melaksanakan tugas sesuai amanat Sang Prabu Brawijaya.
Selain ketiga puncaknya, masih banyak tempat lain di Gunung Lawu yang diyakini mempunyai nilai spiritual dan aktivitas alam gaib, diantaranya:
* Sumur Jolotundo -Lokasi yang diyakini Prabu Brawijaya menerima wangsit dalam perjalanan naik ke Puncak Lawu. Gua yang gelap dan curam sedalam kurang lebih 5 meter sering dipakai untuk bertapa.
* Lumbung Selayur-Di lokasi ini terdapat sumur yang digunakan untuk menyimpan bahan makanan para pengikut Prabu Brawijaya.
* Pawon Sewu - Terletak pada pertengahan perjalanan pendakian menuju ke Puncak Lawu. Di tempat ini para pengikut Prabu Brawijaya mendirikan dapur untuk memasak makanan.
* Gua Selarong - Gua ini dimanfaatkan para pengikut Prabu Brawijaya untuk bermalam sekaligus sebagai tempat pemantauan.
* Sendang Intan - Menurut kepercayaan penduduk setempat, di sendang ini para wisatawan dapat memohon berkah dengan cara minum air langsung ke mulut masing-masing dengan menengadahkan muka. Semakin banyak air yang didapat semakin banyak pula berkah yang diperoleh.
* Jurang Pangari-Arip -Bila para pendaki sudah mencapai tempat ini, mereka mempunyai harapan untuk dapat mencapai Puncak Lawu. Dari tempat ini para pendaki dapat melihat Kawah Condrodimuko.
* Sendang Derajad - Menurut kepercayaan masyarakat setempat, apabila para wisatawan mempunyai cita-cita atau niat tertentu dapat terkabul apabila mandi di sendang ini.
* Kepatihan:Tengen - Lokasi ini merupakan tempat peristirahatan pengikut Prabu Brawijaya.
* Pasar Diyeng : Di sini para pengikut Prabu Brawijaya mendirikan pasar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
* Pandean Suroloyo : Di tempat ini para pengikut Prabu Brawijaya membuat pusaka dan persenjataan mereka.
* Telaga Kuning : Telaga ini merupakan tempat mandi putra-putri pengikut Prabu Brawijaya.
* Argo Fruso: Di tempat ini Raja Brawijaya menyimpan pusaka-pusakanya.
* Kayangan: Tempat ini merupakan taman yang sangat indah tempat istirahat sambil menikmati pemandangan alam yang indah.
* Selo Pundutan : Merupakan tempat untuk latihan olah kanuragan pengkiut Prabu Brawijaya dan masih dipergunakan sampai sekarang oleh para pendaki puncak Lawu.
Pantangan Saat Pendakian Gunung Lawu
- Memakai kain sutra berwarna hijau pupus
- Memakai udeng/ ikat kepala bercorak gadung melati
- Mengganggu burung jalak Gading
- Berbicara kasar, sombong, takabur