SENANDUNG RINDU RADEN BUDIRING
Karya : M. Hasan Sanjuri
Melalui keperihan di lambungku, aku mencoba menyusun bahasa. Menari bersama asap dupa. Seakan-akan ruh para leluhur datang menjengukku. Menanyakan tentang keris pusaka dan tentang kematian yang disesalkannya. Ada cahaya bintang yang menyelinap di atas atap. Menggerak-gerakan sisa malam yang sempit. Aku tidak mengerti. Inikah yang disebut penyesalan? Kelewang, keris dan juga bambu runcing tetap tergantung di dinding yang tenta. Tiba-tiba kitab hasil pertapaan berhamburan. Membentk peta kegelisahan yang selama ini terpendam dalam kalbu.
Di jalan-jalan raya. Suara delman memecah sunyi. Roda-roda berpaling dari luka. Berputar. Seakan telah menemukan isyarat kebahagiaan di pinggir-pinggir jalan. Lalu kita menimbun kata-kata dari sisa pertempuran yang sia-sia. Ribuan anak balita bersila di sudut goa. Membaca garis perlawanan yang kita titiskan dalam dendam. Namun adakah di sana Tuhan membaca pikirannya? Sehingga kematian tidak perlu lagi disesalkan?
Aku menyaksikan orang-orang bernyanyi di televisi dengan lagu yang tak pernah diajarkan oleh nenek moyangnnya. Sebuah lagu yang tak mampu membangkitkan asmaraku untuk bercinta. Aku merindukan tubuhku lahir pada abad pertama dari putaran dunia. Berjumpa dengan adam yang masih meragukan dirinya manusia. Seorang pemuda menelepon kekasihnya di pagi buta. Adalah hawa menyisir rambutnya disana? Atau sedang bernyanyi untuk meredamkan perih setelah pembunuhan putranya? Tiba-tiba aroma firdaus yang kudus menampar sudut hatiku.
Purnama telah membagi cahayanya. Gerhana tersimpan dihatiku. Lalu kembali kusucikan tubuhku dengan baris-baris doa.
Bagaimana mungkin aku bisa menghentikan tetes airmata di pekarangan rumah sementara mimpi dari malam ke malam selalu berkemas diri untuk pergi dan meninggalkan luka baru di pelupukku. Hembusan angin begitu dingin memporak-porandakan istana yang kubangun di dadaku.
Tahun ini seakan-akan menunggu matahari pecah di ubun-ubun. Debu tetap menempel di lipatan baju. Tiba-tiba di selokan belakang rumah terdengar senandung lagu daerah mengalir dengan deras, mencari muara di hatiku. “di mana kemerdekaan itu?” teriak seorang lelaki dengan busur di tangannya. Tanah perbatasan-tanah perbatasan berapa purnama yang dibutuhkan untuk mengenalmu? Dalam buku harian kutulis namamu yang selalu terancam bencana.
Hari pertengahan musin hujan telah tiba. “Anakku negeri baru menunggumu”.
Karya : M. Hasan Sanjuri
Melalui keperihan di lambungku, aku mencoba menyusun bahasa. Menari bersama asap dupa. Seakan-akan ruh para leluhur datang menjengukku. Menanyakan tentang keris pusaka dan tentang kematian yang disesalkannya. Ada cahaya bintang yang menyelinap di atas atap. Menggerak-gerakan sisa malam yang sempit. Aku tidak mengerti. Inikah yang disebut penyesalan? Kelewang, keris dan juga bambu runcing tetap tergantung di dinding yang tenta. Tiba-tiba kitab hasil pertapaan berhamburan. Membentk peta kegelisahan yang selama ini terpendam dalam kalbu.
Di jalan-jalan raya. Suara delman memecah sunyi. Roda-roda berpaling dari luka. Berputar. Seakan telah menemukan isyarat kebahagiaan di pinggir-pinggir jalan. Lalu kita menimbun kata-kata dari sisa pertempuran yang sia-sia. Ribuan anak balita bersila di sudut goa. Membaca garis perlawanan yang kita titiskan dalam dendam. Namun adakah di sana Tuhan membaca pikirannya? Sehingga kematian tidak perlu lagi disesalkan?
Aku menyaksikan orang-orang bernyanyi di televisi dengan lagu yang tak pernah diajarkan oleh nenek moyangnnya. Sebuah lagu yang tak mampu membangkitkan asmaraku untuk bercinta. Aku merindukan tubuhku lahir pada abad pertama dari putaran dunia. Berjumpa dengan adam yang masih meragukan dirinya manusia. Seorang pemuda menelepon kekasihnya di pagi buta. Adalah hawa menyisir rambutnya disana? Atau sedang bernyanyi untuk meredamkan perih setelah pembunuhan putranya? Tiba-tiba aroma firdaus yang kudus menampar sudut hatiku.
Purnama telah membagi cahayanya. Gerhana tersimpan dihatiku. Lalu kembali kusucikan tubuhku dengan baris-baris doa.
Bagaimana mungkin aku bisa menghentikan tetes airmata di pekarangan rumah sementara mimpi dari malam ke malam selalu berkemas diri untuk pergi dan meninggalkan luka baru di pelupukku. Hembusan angin begitu dingin memporak-porandakan istana yang kubangun di dadaku.
Tahun ini seakan-akan menunggu matahari pecah di ubun-ubun. Debu tetap menempel di lipatan baju. Tiba-tiba di selokan belakang rumah terdengar senandung lagu daerah mengalir dengan deras, mencari muara di hatiku. “di mana kemerdekaan itu?” teriak seorang lelaki dengan busur di tangannya. Tanah perbatasan-tanah perbatasan berapa purnama yang dibutuhkan untuk mengenalmu? Dalam buku harian kutulis namamu yang selalu terancam bencana.
Hari pertengahan musin hujan telah tiba. “Anakku negeri baru menunggumu”.